Menunggu

Kau lirik jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirimu dengan perasaan campur aduk. Kesal, bingung, gelisah. Kau perhatikan keadaan sekelilingmu. Sudah sepi. Kau bahkan lupa sudah berapa lama kau duduk terdiam seperti itu. Kau ingin segera beranjak pergi, kalau saja kau tidak ingat janjimu untuk menunggu.

Kaudengar derap langkah mendekat dan kaupalingkan wajahmu menuju sumber suara. Kaulihat dia, berdiri membungkuk sambil menopangkan kedua tangan di lututnya. Napasnya memburu, kau langsung tahu bahwa dia baru saja berlari.
„Ma, maaf aku terlambat!“ Susah payah dia mengucapkan kata-kata itu. Tampak olehmu butiran peluh yang meleleh di sisi kiri dan kanan wajahnya—tanda bahwa dia sangat lelah. Secara keseluruhan, jelas bahwa sosoknya saat itu terlihat menyedihkan. Namun kau terlalu kesal untuk bersimpati. Kau beranjak bangun dari posisi dudukmu dan berkata dengan nada sedingin es, „Cepatlah, aku mau pulang.“

Menunggu
Lewat ekor matamu, kaulihat dia menatapmu dengan sedih. Dia seka peluhnya dengan tangan, lalu mulai berjalan mendekatimu yang telah mendahuluinya.
„Sudah berapa lama kau menunggu?“ Tanyanya.
„Terlalu lama sampai-sampai aku lupa berapa lama persisnya.“
„Oh... Maafkan aku. Banyak hal yang harus aku selesaikan tadi...“
„Aku tahu.“
Hening. Hanya langkah kaki kalian yang terdengar. Kau tenggelam dalam kekesalanmu sementara ia tenggelam dalam penyesalannya. Kalau saja ini bukan hari terakhir kalian bertemu, kau pasti sudah menolak mentah-mentah untuk menungguinya. Berpisah selama seminggu bukanlah waktu yang singkat. Sudah bisa kaubayangkan bagaimana sepinya harimu tanpa dirinya.

Tak terasa kalian berdua sudah sampai di depan pintu rumahmu. Beginilah rutinitas kalian—kau menungguinya pulang dari kegiatan klub, kemudian dia akan mengantarmu pulang. Kau masih terlalu kesal untuk berbicara padanya, karena itu kau langsung menghambur masuk ke pekarangah rumah. Namun dia lebih cepat. Dicekalnya lenganmu, membuatmu mau tak mau membalikkan badan dan menatap wajahnya.
„Aku akan berangkat besok. Ingatkah kau?“ Tanyanya lirih. Mungkin cuma perasaanmu saja, tapi kaulihat sepasang matanya tengah berkaca-kaca.
„Tak mungkin kulupakan.“ Jawabmu ketus.

Dia longgarkan cekalan tangannya, lalu ganti menggenggam lembut tanganmu.
„Aku tahu kau masih marah padaku. Tapi kumohon, doakanlah aku. Tanpa itu, aku tak akan berhasil.“ Pintanya.

Kau menelan ludah. Hati kecilmu merasa iba, tapi egomu terasa lebih nyata. Rasa pedih di dadamu akibat merasa diabaikan kembali menyerang. Kau kembali teringat bagaimana sepinya tadi saat kau sedang menungguinya. Teringat entah berapa janji bertemu yang kalian batalkan, hanya karena dia sibuk mempersiapkan diri untuk kegiatan klubnya. Juga belasan panggilan tak terjawab dan pesan singkat tak terbalas yang kau alamatkan pada nomor ponselnya.
„Akan kudoakan sebelum tidur nanti.“

Mendengar itu, dia tersenyum. Dia mendekat, lalu dikecupnya keningmu dengan lembut, seperti yang biasa dilakukannya.
„Tunggu aku, ya. Aku akan sangat merindukanmu.“
Kau mendesah. Lagi-lagi dia memintamu menunggu.
***

Kau tak pernah merasa terguncang ini sebelumnya.
Pertama kali diberitahu lewat telepon, kau hanya terpaku, sementara temanmu menangis tersedu-sedu. Kau tak bisa memercayai pendengaranmu sendiri. Tak mungkin, tak mungkin dia mengalami hal seburuk itu. Sudah sering dia bepergian untuk hal semacam ini, dan selalu pulang kembali dengan selamat. Dia akan memelukmu begitu kalian bertemu, dan kemudian menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat...

Namun kini, kau hanya bisa melihatnya berbaring tak berdaya. Selang dan kabel-kabel entah apa saling menyilang, seolah memperumit keadaan. Monitor di sampingnya tidak banyak membantu, hanya mengeluarkan bunyi pelan sembari menampilkan gambaran serupa bukit bergerigi. Itukah yang disebut elektrokardiogram? Atau elektrokardiograf? Kau berusaha mengingat-ingat apa yang pernah dikatakannya tempo hari mengenai benda itu, tapi tak mampu. Yang kauingat hanyalah sikap egoismu sehari sebelum keberangkatannya, serta kealpaanmu untuk mendoakan keselamatan dan keberhasilan untuknya.
Oh Tuhan, apa yang telah kulakukan?

Kau teringat peluhnya yang menetes kala ia berlari menghampirimu hari itu. Kini, airmatamulah yang menetes tak henti-henti. Teringat pada genggaman lembut tangannya saat dia memintamu mendoakannya. Kini, tangan itu hanya mampu tergolek lemah di sisi tubuhnya.
„Maafkan aku, maafkan aku.“ Tangismu.

Seolah mampu mendengar ratapanmu, tangan lemah itu bergerak pelan. Diikuti kedua matanya yang perlahan membuka. Mata kalian saling bertatapan.
„Kau... menangis?“

Tangan itu menyentuh pelan sisi wajahmu, lalu mengusap airmata yang meleleh. Susah payah dia tersenyum.
„Aku... sudah menunggumu.“
Kau terkesiap. Sesuatu, entah apa, telah membuka mata hatimu. Selama ini bukan dirimulah yang menunggu, melainkan dirinya. Kau memang menungguinya pulang dari kegiatan klub selama berjam-jam, tetapi dia sudah menunggu hampir berbulan-bulan akan datangnya perhatian dan pengertian dari dirimu. Baru sekarang kau ingat, tak pernah sekalipun kau menyemangatinya, memastikan dirinya makan dengan teratur, atau bahkan sekedar menyeka peluhnya yang menetes kala rasa lelah seusai belajar menyergap dirinya. Tak pernah ingat kau berdoa untuk kesuksesannya, kala ia tengah berjuang demi masa depannya. Namun begitu, dia tak pernah mengeluh padamu. Justru kaulah yang selalu bersikap egois dan bertingkah konyol. Dan yang kau dapat adalah senyuman manis dan sebuah kecupan di kening.

Tangismu meledak. Kau genggam tangannya erat-erat seolah tak sudi melepaskannya.
„Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan menunggu sampai kapanpun.“
„Aku tahu.“